
Ada yang berbisik dalam hati, saat melihat teman karib kini sudah berstatus menikah. Ada suara hati yang berkata dengan berharap cemas agar bisa segera menghalalkan statusnya. Sungguh begitu banyak pemuda ataupun pemudi yang terus merenung menyesali waktu yang terlewatkan sia-sia begitu saja dengan status yang tidak jelas. Bahkan ada yang setiap waktu senantiasa menghibur diri akan usianya yang makin bertambah, namun hati ini belum juga menemukan seseorang yang bisa mengisi relung jiwa yang makin kosong. Maka tiada malam menjelang, melainkan diri kian gusar tanpa ada solusi yang bisa ditawarkan.
Hatipun hanya bisa memohon pada Allah Ta’ala, akan datangnya tambatan jiwa yang setia menemani, sebab bukankah JODOH itu suatu yang pasti. Hanya saja akankah keresahan di kala jodoh belum juga menyapa akan sirna ketika ikhtiyar tidak lagi ternilai kesungguhannya, padahal sejatinya Allah Ta’ala telah mempersiapkan waktu yang tepat agar kita dipertemukan dengan calon pendamping di kehidupan dunia ini. Maka kita yang menjalani hidup dengan mengalir seperti air, mungkin lupa bahwa air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Untuk itu cepatlah bergerak sembari tepat mengambil keputusan.
Dahulu sahabat Ibnu Mas’ud –semoga Allah Ta’ala meridhoinya- pernah berkata: “Jika umurku tinggal satu hari lagi, aku lebih baik menikah daripada aku membujang, karena sungguh aku akan merasa malu jika bertemu Allah kelak di akhirat dalam kondisi sebagai bujangan”
Dalam hati seorang bujang ada kegusaran nyata, “Sungguh bukannya aku tidak sabar, aku pun tidak ingin berlama-lama menanti seperti ini, akan tetapi kembali aku berpikir ulang, bahwa keberanian untuk memutuskan merupakan kata lain dari kesabaran untuk menerima segala konsekwensi ketika nanti berumahtangga. Hinga untuk kesekian kalinya lagi dan lagi hati ini dibuat gusar, sebab di sisi lain, terkadang menunda-nunda keputusan kian membuka pintu-pintu syaithan.” Boleh jadi di antara jiwa ada yang berkata bahwa mencintai tidak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang dicintai. Akan tetapi perlu dicamkan bahwa cinta tidak pernah meminta untuk menanti. Ia adalah bentuk kongkrit dari kecepatan dan ketepatan dalam mengambil kesempatan.
Itulah “KEBERANIAN SEJATI”, atau legowo mempersilakan orang lain yang lebih berani untuk mengambil kesempatan itu. Namun apakah ini yang disebutkan dengan pengorbanan hakiki dari jiwa seorang lelaki? Sebab sungguh kekhawatiran maupun ketakutan tidak akan menjadikan bahayanya membesar, melainkan diri kitalah yang kian mengerdil dan mengecil.
Tidakkah jiwa ini tertenangkan bahwasanya Allah selalu ada bersamamu, dan tugas utama manusia hanyalah berikhtiar. Di sanalah barokah kehidupan ada, yaitu ketika seorang calon istri teguh menanti. Tidakkah setiap diri pernah mendengar adanya jaminan dari Ilahi terkait ibadah (pernikahan) yang begitu mulia dan suci:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32)
Maka cinta adalah persoalan berusaha untuk memperjuangkan orang yang layak dicintai. Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau keperkasaan lelaki yang bertampang rapi. Bahwa sebagaimana cinta kepada lawan jenis tidak serta merta hadir mengisi hati, sungguh cinta memang harus diupayakan serta diperjuangkan.
Karena cinta adalah kata kerja. Maka lakukanlah kerja jiwa serta raga demi orang yang layak kita dampingi. Kerjakan cinta yang engkau maksud agar kau temukan cinta yang engkau maksudkan. Karena gejolak dan hasrat cinta adalah kata kerja yang mata airnya adalah niat baik dari hati yang tulus, seperti layaknya Fathimah dan Ali, saling mencintai dalam kerahasiaan yang paling rapat, kepasrahan paling kuat, dan ikhtiyar suci yang menemukan jalannya, dan dengan karunia Allah serta perjuangan yang hebat,.
Maka perjuangkanlah cintamu, bersegeralah menyempurnakan setengah dari agamamu! Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Segala sesuatu akan senantiasa dinamis bergerak, dan pondasi dasar dari pergerakan adalah adanya rasa cinta dan keinginan yang kuat.”
Akan halnya “Bujang Sejati” yang bimbang mengambil keputusan, ada ribuan pusaran kata yang tersembunyikan dari paras sayu berjuta wanita. Bukannya mereka tidak berani mengutarakan isi hati mereka kepada kita, melainkan kehormatan diri yang mesti terbingkai dalam jiwa dan raga mereka. Mereka bukanlah Zulaikha yang menggebu hasratnya demi meraih kasih sayang seorang Yusuf, akan tetapi mereka adalah Fatimah yang dengan setia menunggu kehadiran seorang Ali, meski Abu bakar, Umar serta Utsman –semoga Allah meridhoi mereka semua- yang menjadi pembandingnya. Namun siratan pena Ilahi telah memutuskan ikhtiar utama siapa yang paling berhak menggapai cinta seorang putri dari manusia terbaik -Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam-. Sungguh akan sulit kita mencari pasangan ideal, jikalau diri kitapun tidak pernah berusaha untuk menjadi pribadi ideal.
Maka sangatlah pantas Allah ta’ala menyandingkan Rasululloh dengan Khadijah, sebagaimana pula Abu Lahab dengan Ummu Jamil-nya. Sejatinya dalam kehidupan ini tidak ada satupun aturan syariat yang memberatkan pemeluknya, urusan nikahpun begitu amat mudah dan dipermudah, sehingga tidak ada satupun aturan yang dianggap berat, melainkan Allah Ta’ala akan memberatkan serta menyukarkannya.
Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.” (HR. Al-Bukhori)
Wallahu a’lamu bisshowab.
Oleh Ridwan, Lc, M.Pd.I
( Kepala Sekolah SMAIT HARUM & Anggota Dewan Syariah Bina Ukhuwah )
Komentar