
Ketidakberdayaan merupakan perwujudan dari ketidakmampuan seseorang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya, baik dalam perkara duniawi maupun agama. Dalam aplikasinya, wujud ketidakberdayaan ini bisa hadir dalam bentuk menunda-nunda amalan dari apa yang sebenarnya bisa dilakukan, atau merasakan kelemahan diri di tengah potensi dan kesempatan melakukan kebaikan tersedia di hadapan kita. Jika diresapi secara mendalam, sesunguhnya bagi seorang mukmin tidak ada potensi kebaikan yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala melebihi anugerah keimanan. Iman merupakan potensi sekaligus modal utama yang bilamana diberdayakan akan menghasilkan energi kebajikan yang tiada tara. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Iman merupakan kekuatan jiwa yang terhubung dengan Rabb alam semesta, yang menafikan adanya kekuatan besar selainnya. Oleh karenanya, seseorang yang memiliki keimanan yang kuat, jiwanya akan selalu menolak setiap ketundukan kepada selain Allah Ta’ala, serta mencela setiap tindakan yang mengarah kepada pelecehan iman oleh pihak manapun. Maka iman merupakan motor penggerak yang memberikan keberkahan dan kehormatan hidup, iman merupakan antitesis dari setiap penghinaan dan pelecehan diri. Semangat seperti ini yang diungkapkan oleh Rabi’i bin Amr ketika berbicara dengan lantang dihadapan Rustum seorang panglima Persia yang superior di masanya: “Kami diutus untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan manusia kepada manusia menuju penghambaan manusia semata-mata kepada Tuhan yang menciptakanNya. Dari dunia sempit menuju dunia yang lapang. Dari kesewenangan agama menuju keadilan Islam”
Waktu sepuluh tahun berdakwah di Mekkah dengan segenap lembaran pahit didalamnya, menjadi bumbu hidup yang menanamkan militansi keimanan yang kuat di hati masyarakat muslim saat itu, namun berdiam diri berlama-lama dengan penghinaan dan pelecehan masif yang dilakukan oleh manusia-manusia jahili, bukanlah pilihan yang tepat, sebab sejarah telah membuktikan bahwa sebuah bangsa yang terlalu lama hidup dalam pelecehan seperti layaknya kaum Israel yang dijajah oleh bangsa Fir’aun, hanya akan melahirkan individu yang pengecut dan berkepribadian lemah. Berangkat dari lembaran masa lampau, Allah Ta’ala seolah memberikan pelajaran berharga bahwa bagi sebagian orang duduk berlama-lama dengan ketidakberdayaan hanya akan menghasilkan manusia-manusia kerdil yang selalu pasrah dengan keadaan! Untuk itu perintah hijrah-pun disampaikan dengan tegas, titah untuk meninggalkan kota Mekkah menuju Madinah yang jaraknya sekitar 490 km mau tidak mau mesti segera ditunaikan dengan segala konsekwensi yang ada meski harus gugur di perjalanan, sebagaimana yang menimpa sahabat Kholid bin Hizam dan Dhamrah bin Jundab ketika keduanya diperintahkan berhijrah meninggalkan kampung kelahirannya (Mekkah). Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya:
Dalam proses keberangkatan hijrah, tidak sedikit dari para sahabat yang tertahan bahkan tertawan oleh pasukan musuh, namun kondisi ini tidak boleh menjadikan jiwa mereka lemah di hadapan musuh, apalagi jika muncul rasa kepuasan diri bahwa berislam hanya sebatas diartikan dengan syahadat, shalat serta bersabar menerima penghinaan yang ada. Diantara para sahabat nabi yang tertahan di kota Mekkah ada paman nabi sendiri yang bernama Abbas dan dua keponakannya yang bernama Uqail dan Naufal. Rasululloh –pun kemudian berkata kepada pamannya: “Tebuslah diri engkau dan keponakanmu dengan harta yang kalian miliki”. Sang paman kemudian balik bertanya:”Wahai Rasulullah, tidakkah cukup bagi kami bersyahadat dihadapanmu serta shalat menghadap ke arah kiblatmu?” Nabi kemudian menjawab: “Wahai Abbas apakah kalian hendak menyelesihi aku? Jikalau seperti itu, niscaya kalian akan senantiasa berselisih pada setiap urusan kalian”. Rasulullah kemudian membaca firman Allah Ta’ala yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dari bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya ialah Jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS. An-Nisa: 97-99).
Ketidakberdayaan diri merupakan suatu kondisi yang tidak boleh hadir dalam jiwa seorang yang beriman, sebab iman merupakan potensi jiwa yang akan selalu bergerak mendobrak setiap perkara yang dianggap sulit menjadi mudah dilalui, yang mustahil menjadi jelas untuk diraih, dan yang sukar menjadi nikmat untuk dijalani. Maka bergeraklah wahai sahabat, janganlah kita diam berlama-lama menikmati perasaan tidak berdaya ini, sementara potensi kekuatan jiwa yang bernama iman telah sekian lama Allah Ta’ala karuniakan kepada kita semua. Petuah para ulama mengatakan kepada kita:”Al harokah barokah” (Sesungguhnya manakala kita bergerak, maka ada keberkahan didalamnya).
Wallahu ‘alam bisshowab
Oleh: Ridwan, Lc, M.Pd.I
Komentar