Perbedaan adalah wajar, namun pertentangan merupakan masalah. Berbeda belum tentu bertentangan, namun pertentangan pasti berbeda. Sejatinya, pemikiran Islam yang lahir dalam alur sejarah perjalanan kaum Muslimin tidak hanya memunculkan perbedaan, namun juga pertentangan yang acapkali menyulut api permusuhan serta pertumpahdarahan. Maka seiring berjalannya waktu, lahir pula berbagai macam aliran pemikiran dari mulai yang hanif (lurus) sampai dengan yang sesat. Dari semua perbedaan yang ada, tentu tidak semua dapat dinyatakan benar, tidak pula bisa ditoleransi keberadaannya.

Dalam konteks ini, kita tidak sedang berbicara ekslusif atau inklusif, melainkan kita sedang berbicara pada takaran aqidah yang domainnya adalah al-haq atau al-bathil, bukan pada wilayah ijtihadiyyah yang domainnya adalah benar atau keliru. Alur pemikiran seperti inilah yang sejatinya harus kita kedepankan ketika berbicara aqidah serta iman. Sungguh memilukan atas nama toleransi dan keutuhan NKRI, hari ini begitu banyak kalangan intelektual yang tanpa tending aling-aling membela secara membabibuta setiap aliran sempalan (sampah) tanpa berpikir ulang akibat dari itu semua. Padahal sejatinya objektivitas cara berpikir tidak diukur dengan cara kita yang menerima seluruh konsep ajaran agama maupun madzhab yang ada, melainkan objektivitas itu ternilai dengan merujuk kepada buku atau kitab primer yang menjadi landasan utama setiap arus pemikiran yang ada, untuk kemudian membandingkannya dengan konsep aqidah Islam yang sudah konstan (baku).

Diantara sekian banyak konsep keagamaan yang akhir-akhir ini menyita perhatian serta memicu konflik horizontal di kalangan umat Islam adalah kelompok Syiah. Tidak dapat dinafikan, meski sejumlah kaum intelektual Sunni seperti Syaikh Mustafa as-Siba’i sampai dengan Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mencoba mencari titik temu guna meredam jurang perbedaan yang sangat menganga antara Sunni dengan Syiah, nyatanya tidak memberikan solusi yang realistis, sebab memang perbedaan antara keduanya sangatlah kontras seperti langit dan bumi. Di sisi lain ketika mengkaji dan menelusuri seperti apa ajaran Syi’ah sesungguhnya, kita menemukan sebuah fakta menarik, dimana dalam tubuh kelompok Syi’ah sendiri terdapat beragam aliran sempalan. Aliran Syiah berpecah kepada cabang-cabang kecil. Tiga cabang yang utama pada masa kini mempunyai bilangan pengikut yang besar. Yang paling terkenal dan terbesar ialah golongan Syiah Imam Dua Belas atau Imamiyyah/Ja’fariyyah (iṯnāʿašariyya) yang melingkupi 90% penduduk di Iran dan sebagian besar penduduk Iraq termasuk di Indonesia mayoritas kaum Syi’ah berasal dari kelompok Syiah Imam Dua Belas atau Imamiyyah/Ja’fariyyah yang sepenuhnya berkiblat ke Iran. Golongan Syiah yang kecil lainnya adalah kelompokal-Kaisaniyyah, al-Zaidiyah, Imamiyyah, al-Ghulat, Ismailiyah, dan Syiah Imam Bertujuh. Demikian pula kelompok Syi’ah Alawiyyah dan Duruzi menganggap diri mereka adalah Syiah, meskipun mereka tidak diakui oleh para pengikut Syiah yang lainnya. Adapun dari Tarikat-tarikat Sufi yang beraliran Syiah adalah Tarikat Alevi, Bektashi Hamadani dan Fatimiyyah.

Untuk menutupi perbedaan yang tajam dengan Ahlussunnah dan nuansa kebencian yang ada, kelompok syi’ah Indonesia mengeluarkan sebuah buku berjudul “Buku Putih Madzhab Syi’ah”. Dalam buku ini disebutkan bahwa konflik Ahlussunnah dan Syi’ah hanyalah mitos. Namun apa yang sebenarnya terjadi tidaklah demikian, sebab tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para penganut Ahlussunnah di Iran sampai detik ini diperlakukan secara tidak adil dan semena-mena, karena negara ini hanya mengakui ajaran syi’ah sebagai satu-satunya madzhab dalam berislam. Sebagaimana halnya fakta di lapangan menyatakan bahwa di kota Teheran sendiri jumlah masjid Ahlussunnah hanya terdapat sembilan buah saja. Sementara itu bangunan Sinagog (tempat ibadah kaum Yahudi) berjumlah 19 buah, dan di seluruh Iran berjumlah 36 buah. Selain itu banyak dari kalangan kaum Sunni yang ditindak secara semena-mena hanya karena mereka bernama Abu Bakar, Umar atau Utsman. Di sisi yang lain kaum Syi’ah sendiri di negeri ini mengharamkan setiap pemimpin mereka berasal dari kaum Sunni.

Menelaah laju tumbuh pergerakan Syi’ah di masa modern, kiranya kaum Syi’ah sampai hari ini mempunyai hutang besar atas jasa yang telah diperankan oleh Ayatulloh Khomaeni ketika berhasil menggulingkan pemerintahan Iran dari tangan Shahpur Bakhtiar sebagai pemerintahan terakhir yang diangkat oleh Shah Reza Pahlevi pada tanggal 11 Februari 1979, dikemudian hari revolusi ini dikenal dengan “Revolusi Iran”. Dengan lahirnya peristiwa revolusi ini seolah kaum Syi’ah di dunia mendapatkan angin segar, mereka menemukan sebuah negara yang mengakomodir secara penuh kepentingan keberagamaan kelompok mereka, dan bermula dari negara inilah kemudian ajaran Syi’ah menggeliat dan menyebarluas di kalangan masyarakat luas.

Sebagai gerakan pemikiran keagamaan yang lahir seiring dengan munculnya pergolakan politik pada akhir kepemimpinan Khulafaur Rasyidin ke -3 yakni Utsman bin Affan –semoga Allah meridhoinya-, pemikiran ajaran Syiah menjadi salah satu topik penelitian yang menarik untuk dibahas, ada begitu banyak tema yang perlu kita kaji guna mengenal Syi’ah seutuhnya, tidak sebatas tema tentang ajaran Taqiyah atau nikah Mut’ah semata, melainkan ada pembahasan lainnya yang jauh lebih penting melebihi dua hal tersebut, seperti konsep Tauhid kaum Syi’ah, konsep Wilayat Al-Faqih, otentitas Al-Qur’an dan hadits serta tafsirnya di mata kaum Syiah, dll. Dalam beberapa edisi ke depan insyaAllah kita akan mencoba untuk mengkaji ajaran Syiah dengan mengacu kepada kitab-kitab karangan ulama besar mereka secara langsung, tentunya dengan harapan pembahasan ini bisa ternilai sebagai kajianilmiah dan objektif.

Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh Ridwan, Lc, M.Pd.I

Admin

Komentar

Facebook

Arsip